Sabtu, 27 Juni 2015

Nostalgia Pohon Kersen

Kusiangi rumput liar di sepetak kecil halaman belakang rumah baruku. Sengaja kusisakan sedikit lahan di belakang rumah untuk kubuat taman kebun kecil. Harapanku, sepetak tanah itu akan kutanami beragam jenis pohon. Tak perlu pohon cantik-cantik, tapi cukup sebagai penyumbang oksigen untuk dapurku yang persis berada di depannya.
Akhir pekan begini adalah saat untuk ‘berkebun’. Ah, belum tepat rasanya kata berkebun itu kugunakan untuk kegiatan ini. Setelah setahun masa tinggalku, aku masih bolak-balik berpikir mengenai pohon yang akan kutumbuhkan di halaman belakang ini. Apakah singkong seperti di rumah lama dulu? Lumayan juga kan, setelah beberapa bulan bisa menikmati hasilnya. Singkong dari kebun sendiri pasti lebih gurih rasanya. Ubi jalar menjadi opsi berikutnya. Hasilnya pun bisa dipanen dalam waktu yang tak begitu lama. Diolah dengan berbagai cara, tak akan berkurang nikmatnya. Pisang, sempat juga kupertimbangkan, tapi sifatnya yang terus menerus beranak pinak beresiko menghabiskan lahan yang hanya sepetak kecil itu. Sedangkan aku masih ingin punya dapur hidup dan sedikit ragam tanaman lain di situ.
Sambil mencabuti rumput liar, kucermati tanaman yang tumbuh sesukanya di situ. Aku heran ketika beberapa tunas Begonia hijau bermunculan di sana-sini, sementara pohonnya sendiri sudah mati beberapa waktu sebelumnya. Mungkin dia akhirnya berhasil menebar biji ketika bunga putihnya muncul sebelum dia mati. Dan sekarang, beberapa tunas Begonia akhirnya kubiarkan tumbuh. Tanaman berdaun tak simetri itu, bisa tampak manis juga kok. Dua jenis Begonia lainnya sengaja kutanam di depan rumah. Daunnya yang merah hijau keunguan jadi aksen di antara kehijauan tanaman lainnya.
Tanaman berikutnya yang menjadi sumber pertanyaanku adalah sejenis sukulen yang berdaun cantik. Jika dia sudah cukup tua, di ujung-ujung daunnya akan muncul tunas yang berbentuk seperti bunga. Dia pun bisa terlihat cantik, tapi penyebarannya terasa sporadis, tak beraturan di sana-sini. Tapi kembali kubiarkan dia tumbuh di situ. Sementara rumput liar, tak ada ampun bagimu, langsung kucabut hingga ke akar. Sementara di taman kecil di depan rumah, sepetak tanahnya sengaja kubiarkan berumput, tapi tidak liar tentunya.
Beberapa tunas kecil tampak tumbuh pula di sana-sini, membuatku heran saja. Dari mana dia datangnya? Daun yang berbentuk bulat telur lanset, sedikit berbulu dengan tepi bergerigi dan ujung runcing runcing ini, kukenal betul sebagai benih pohon Kersen. Perjalanan jauh telah ditempuh bulir biji dari buah mungil yang manis nian ini, buah yang jadi favoritku di masa kecil dulu.
Teringat sebuah episode saat aku masih sering main-main di kompleks tentara di belakang rumah orang tuaku. Aku dan Yani, seorang anak tentara yang tinggal di kompleks itu, cukup sering main bersama. Ada beberapa pohon Kersen besar di kompleks tentara itu. Setiap kali kami melewatinya, buah-buah Kersen mungil yang ramun bersembulan dari balik dedaunan rimbunnya, menggodaku, seolah memanggil-manggil untuk memetik mereka. Sekali-dua kali, aku dan Yani sempat juga memanjat pohon itu dan berlomba mencari buah paling ranum untuk langsung dimakan sambil nongkrong di atas pohon.
Berada di atas pohon membuatku merasa istimewa, seolah melakukan perjalanan ke dunia lain. Pada saat berada di puncak pohon, memandang langit, berayun bersama angin, aku serasa dibawa ke sebuah suasana berbeda yang sungguh kunikmati setiap momennya.
Sekali waktu, aku dan Yani memanjat salah satu pohon kersen tak bertuan yang berada di tepi jalan dan begitu asyik memandang kanan-kiri mencari sekelebatan buah mungil merah mengkilat itu. Di sebelah kepala Yani, kuincar sebuah Kersen ranum yang cukup besar. Bulirnya yang merah mengilap begitu menggiurkan, hingga dengan serta merta kuulurkan tangan untuk meraihnya. Beberapa senti di sebelahnya, baru kuperhatikan, seekor ulat bulu dengan tenang memamah daun Kersen yang berbulu halus itu. Nyaris kuurungkan niat untuk mengambil buah itu, tapi aku tak kuasa menahan godaannya. Kuulurkan tangan lebih jauh untuk meraih buah itu, bersamaan dengan Yani memalingkan wajahnya dan mendapatiku sedang memetik buah tepat di sebelah kepalanya, lalu dia berteriak untuk dua alasan. Yang pertama, kecewa karena aku berhasil mendapatkan buah ranum yang begitu dekat dengannya, dan alasan yang kedua, keterkejutannya ketika pandangannya bergeser pada si ulat bulu. Kami segera meluncur turun dari pohon itu, karena sangat kami sadari bahwa si ulat bulu tak mungkin sendirian di atas pohon itu. Bukan hanya kami yang menemaninya, tapi pasti ada banyak teman-temannya di pohon itu. Kami tentu tak mau ambil resiko. Setelah kumasukkan Kersen itu ke mulutku, kukunyah untuk merasakan sensasi pecahnya kulit buah yang tipis dan merasakan manisnya buah berbiji lembut itu, akupun segera bersicepat turun dari pohon Kersen yang sudah kami eksploitasi, ditemani si ulat bulu tadi.
Tak jarang, burung-burung pun hinggap di pohon, tapi mereka memilih untuk mengalah pada saat kami saat memanjat pohon berkayu ringan ini. Tak mendendam pada manusia, mereka justru  ikut menebar biji-biji pohon yang tak kuasa mereka cerna itu, membawanya dalam perjalanan, jauh atau dekat, yang salah satunya sampailah di halaman belakang rumahku. Hmm… galau kembali. Akankah kubiarkan pohon Kersen ini membesar dan kelak akan membawaku dalam sebuah perjalanan nostalgia? Ataukah kucabuti saat masih kecil-kecil hingga tak bersisa? Jangan khawatir, Kersen, perjalananmu masih panjang. Walaupun kau tak tumbuh di belakang rumahku, tapi sebagai pionir kalian sudah menjadi pohon peneduh di tepi jalan, menjadi payung peneduh bagi mereka yang mencari keteduhan. Sementara di belakang rumahku, biarkanlah pohon lain yang tumbuh. Sesekali, kan kucari dirimu, untuk memetik kembali buah-buah ranummu, dalam perjalanan mengenang masa kecilku.

Kembali kuingat Yani, sahabat masa kecilku. Di manakah gerangan dia berada sekarang ini? Ingin sekali bertemu dengannya lagi, kembali berburu Kersen, atau mungkin melihat-lihat ragam tanaman di rumah baruku, sambal berbincang tentang masa lalu. Jika burung-burung kecil ini menerbangkan biji kersen ke rumahmu, semoga engkau pun mengingat dirimu.

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com


Jumat, 12 Juni 2015

Bunga-bunga di Rumah Baru

Setahun masa tinggalku di rumah baru. Tanaman yang ikut kubawa pindahan mulai beradaptasi dengan suasana baru dan satu persatu mulai berbunga. Perkenalkan...anggota keluarga di rumah baruku.
Amarylis Orange. Amarylis ini dikenal juga dengan nama bakung, bukan? Bunga ini sudah mekar dua kali dalam rentang waktu setahun di rumah baru. Mekarnya bergantian. Satu mekar, yang lain masih kuncup. Ketika yang kuncup mulai mekar, yang lainnya justru layu. Jadi penasaran, apakah akan ada masanya bunga ini mekar bersamaan?
Paphiopedilum. Senangnya... bunga ini sudah 3 kali berbunga. Setelah muncul bunga pertama, lalu sambung menyambung beberapa kali, dilanjut dengan kuntum berikutnya, Kali ini sempat mekar bersamaan. Cantiiik...!
Bunga Anggrek dendrobium ungu tua. Ketika mekar pertama di rumah barunya, hanya 4 atau 5 kuntum bunganya. Sebelumnya, di rumah yang lama, untaian bunganya bisa mencapai belasan kuntum bunga di satu tangkai. Mungkin dia masih dalam masa adaptasi. Mudah-mudahan di musim berbunga berikutnya, bunganya lebih banyak yaa. Saat ini muncul lagi daun-daun kecilnya.  
Phalaenopsis. Bunga anggrek bintik ini awet juga bertahan dengan beberapa kuntum bunga dalam satu untaian. 
Anggrek putih kecil. Anggrek jenis apa ini yaa? Ah... aku pun tak punya catatannya. Kubeli pada saat pameran beberapa waktu yang lalu, dia sudah berbunga, putih, kecil-kecil. Tak sempat kuabadikan bentuk bunganya. Berharap di kesempatan berikutnya, bunganya muncul lebih banyak.
Vanda ungu. Bunga ini sudah menumbuhkan kuncup bunganya ketika di rumah lama, tapi urung berkembang hingga matinya. Ketika kubawa ke rumah baru, batang bunganya masih utuh, tapi berangsur kering. Batang itu kemudian kupotong untuk memberi kesempatan agar bunga baru berani tumbuh. Dan memang tak lama kemudian batang bunga baru pun muncul. Kurawat dan kusayang-sayang agar sukses berkembang. Dan inilah dia, rangkaian anggrek vanda ungu yang kuposisikan di depan pintu depan rumah.
Adenium. Bunga ini dikenal dengan nama Kamboja Jepang, padahal nama ini sebetulnya 'menyesatkan', karena bunga ini bisa disangka sekeluarga dengan kamboja padahal kedua tanaman itu berasal dari keluarga inti yang sama (Apocynaceae) tapi genus yang berbeda. Mungkin bisa dikatakan bahwa mereka adalah sepupuan. ;) Tetangga sebelah rumah menanam pohon kamboja putih di halaman depan rumahnya, sementara Adeniumku kutanam di belakang rumah. Sudah berbunga beberapa kali, dan aku masih selalu menikmati keindahannya. Bunga cantik, yang membuatku menginginkan adenium varian lainnya, untuk menemani si pinky yang satu ini.