Kusiangi rumput liar di sepetak kecil halaman
belakang rumah baruku. Sengaja kusisakan sedikit lahan di belakang rumah untuk
kubuat taman kebun kecil. Harapanku, sepetak tanah itu akan kutanami beragam
jenis pohon. Tak perlu pohon cantik-cantik, tapi cukup sebagai penyumbang
oksigen untuk dapurku yang persis berada di depannya.
Akhir pekan begini adalah saat untuk ‘berkebun’.
Ah, belum tepat rasanya kata berkebun itu kugunakan untuk kegiatan ini. Setelah
setahun masa tinggalku, aku masih bolak-balik berpikir mengenai pohon yang akan
kutumbuhkan di halaman belakang ini. Apakah singkong seperti di rumah lama
dulu? Lumayan juga kan, setelah beberapa bulan bisa menikmati hasilnya.
Singkong dari kebun sendiri pasti lebih gurih rasanya. Ubi jalar menjadi opsi
berikutnya. Hasilnya pun bisa dipanen dalam waktu yang tak begitu lama. Diolah
dengan berbagai cara, tak akan berkurang nikmatnya. Pisang, sempat juga
kupertimbangkan, tapi sifatnya yang terus menerus beranak pinak beresiko menghabiskan
lahan yang hanya sepetak kecil itu. Sedangkan aku masih ingin punya dapur hidup
dan sedikit ragam tanaman lain di situ.
Sambil mencabuti rumput liar, kucermati
tanaman yang tumbuh sesukanya di situ. Aku heran ketika beberapa tunas Begonia hijau
bermunculan di sana-sini, sementara pohonnya sendiri sudah mati beberapa waktu
sebelumnya. Mungkin dia akhirnya berhasil menebar biji ketika bunga putihnya
muncul sebelum dia mati. Dan sekarang, beberapa tunas Begonia akhirnya
kubiarkan tumbuh. Tanaman berdaun tak simetri itu, bisa tampak manis juga kok.
Dua jenis Begonia lainnya sengaja kutanam di depan rumah. Daunnya yang merah
hijau keunguan jadi aksen di antara kehijauan tanaman lainnya.
Tanaman berikutnya yang menjadi sumber
pertanyaanku adalah sejenis sukulen yang berdaun cantik. Jika dia sudah cukup
tua, di ujung-ujung daunnya akan muncul tunas yang berbentuk seperti bunga. Dia
pun bisa terlihat cantik, tapi penyebarannya terasa sporadis, tak beraturan di
sana-sini. Tapi kembali kubiarkan dia tumbuh di situ. Sementara rumput liar, tak
ada ampun bagimu, langsung kucabut hingga ke akar. Sementara di taman kecil di
depan rumah, sepetak tanahnya sengaja kubiarkan berumput, tapi tidak liar
tentunya.
Beberapa tunas kecil tampak tumbuh pula di
sana-sini, membuatku heran saja. Dari mana dia datangnya? Daun yang berbentuk
bulat telur lanset, sedikit berbulu dengan tepi bergerigi dan ujung runcing runcing ini, kukenal betul
sebagai benih pohon Kersen. Perjalanan jauh telah ditempuh bulir biji dari buah
mungil yang manis nian ini, buah yang jadi favoritku di masa kecil dulu.
Teringat
sebuah episode saat aku masih sering main-main di kompleks
tentara di belakang rumah orang tuaku. Aku dan Yani, seorang anak tentara yang
tinggal di kompleks itu, cukup sering main bersama. Ada beberapa pohon Kersen
besar di kompleks tentara itu. Setiap kali kami melewatinya, buah-buah Kersen
mungil yang ramun bersembulan dari balik dedaunan rimbunnya, menggodaku, seolah
memanggil-manggil untuk memetik mereka. Sekali-dua kali, aku dan Yani sempat
juga memanjat pohon itu dan berlomba mencari buah paling ranum untuk langsung
dimakan sambil nongkrong di atas pohon.
Berada di atas pohon membuatku merasa
istimewa, seolah melakukan perjalanan ke dunia lain. Pada saat berada di puncak
pohon, memandang langit, berayun bersama angin, aku serasa dibawa ke sebuah
suasana berbeda yang sungguh kunikmati setiap momennya.
Sekali waktu, aku dan Yani memanjat salah
satu pohon kersen tak bertuan yang berada di tepi jalan dan begitu asyik
memandang kanan-kiri mencari sekelebatan buah mungil merah mengkilat itu. Di
sebelah kepala Yani, kuincar sebuah Kersen ranum yang cukup besar. Bulirnya
yang merah mengilap begitu menggiurkan, hingga dengan serta merta kuulurkan
tangan untuk meraihnya. Beberapa senti di sebelahnya, baru kuperhatikan, seekor
ulat bulu dengan tenang memamah daun Kersen yang berbulu halus itu. Nyaris
kuurungkan niat untuk mengambil buah itu, tapi aku tak kuasa menahan godaannya.
Kuulurkan tangan lebih jauh untuk meraih buah itu, bersamaan dengan Yani memalingkan wajahnya dan
mendapatiku sedang memetik buah tepat di sebelah kepalanya, lalu dia berteriak
untuk dua alasan. Yang pertama, kecewa karena aku berhasil mendapatkan buah
ranum yang begitu dekat dengannya, dan alasan yang kedua, keterkejutannya
ketika pandangannya bergeser pada si ulat bulu. Kami segera meluncur turun dari
pohon itu, karena sangat kami sadari bahwa si ulat bulu tak mungkin sendirian
di atas pohon itu. Bukan hanya kami yang menemaninya, tapi pasti ada banyak
teman-temannya di pohon itu. Kami tentu tak mau ambil resiko. Setelah
kumasukkan Kersen itu ke mulutku, kukunyah untuk merasakan sensasi pecahnya
kulit buah yang tipis dan merasakan manisnya buah berbiji lembut itu, akupun
segera bersicepat turun dari pohon Kersen yang sudah kami eksploitasi, ditemani
si ulat bulu tadi.
Tak jarang, burung-burung pun hinggap di
pohon, tapi mereka memilih untuk mengalah pada saat kami saat memanjat pohon
berkayu ringan ini. Tak mendendam pada manusia, mereka justru ikut menebar biji-biji pohon yang tak kuasa
mereka cerna itu, membawanya dalam perjalanan, jauh atau dekat, yang salah
satunya sampailah di halaman belakang rumahku. Hmm… galau kembali. Akankah
kubiarkan pohon Kersen ini membesar dan kelak akan membawaku dalam sebuah
perjalanan nostalgia? Ataukah kucabuti saat masih kecil-kecil hingga tak
bersisa? Jangan khawatir, Kersen, perjalananmu masih panjang. Walaupun kau tak
tumbuh di belakang rumahku, tapi sebagai pionir kalian sudah menjadi pohon
peneduh di tepi jalan, menjadi payung peneduh bagi mereka yang mencari
keteduhan. Sementara di belakang rumahku, biarkanlah pohon lain yang tumbuh.
Sesekali, kan kucari dirimu, untuk memetik kembali buah-buah ranummu, dalam
perjalanan mengenang masa kecilku.
Kembali kuingat Yani, sahabat masa
kecilku. Di manakah gerangan dia berada sekarang ini? Ingin sekali bertemu
dengannya lagi, kembali berburu Kersen, atau mungkin melihat-lihat ragam
tanaman di rumah baruku, sambal berbincang tentang masa lalu. Jika burung-burung
kecil ini menerbangkan biji kersen ke rumahmu, semoga engkau pun mengingat
dirimu.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis
Cerpen “Awesome Journey” Diselenggarakan oleh Yayasan Kehati dan Nulisbuku.com